Jumat, 27 Mei 2011

Persiraja Simbol Patriotisme Aceh

SEJARAH kembali berulang, itulah kata yang pantas disematkan kepada tim sepakbola kebanggaan masyarakat Aceh era tahun 90-an. Lama hilang setelah perjalanan konflik Aceh dan tsunami, Persiraja Banda Aceh yang menjadi legenda sepak bola Indonesia sekaligus  perwakilan dari Sumatera kini kembali muncul di tengah romantisme “hiruk pikuk” Aceh yang belum jelas kemana arahnya.

Di saat Aceh mulai kehilangan rasa ke-Acehan, Persiraja datang kembali membangunkan patriotisme Aceh yang sekarang seperti saling melukai sesamanya pascatsunami dan MoU Helsinki.

Kemenangan Persiraja melawan Mitra Kukar dari Kalimantan adalah kemenangan yang membawa Persiraja bisa berlaga melawan tim-tim “tangguh” se-Nusantara di kompetisi selanjutnya. Pola permainan bertahan dan sekali-kali menyerang yang ditampilkan oleh anak-anak Aceh tersebut mampu menekuk tim “dayak” 1-0. Di balik kemenangan itu ada fenomena menarik sebenarnya apabila kita mau menghubungkannya dengan sejarah bola dan kehidupan masyarakat Aceh. Patriotisme Persiraja pada era 90-an mampu menyihir masyarakat Aceh untuk tetap bersatu mendukung Persiraja tanpa rasisme kesukuan.

Aceh tetap merupakan nama sebuah bangsa yang didiami oleh beragam suku, seiring perjalanan sejarah patriotisme Aceh mulai digoyang oleh beragam isu untuk bercerai berai dari rasa ke-Acehan karena faktor kepentingan. “Aceh” adalah simbol milik bersama seluruh masyarakat Aceh dari Sabang, Aceh Timur, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Ketidakadilanlah yang telah membangun imajinasi kesukuan untuk menghilangkan simbol ke-Acehan dari geografis persatuan. Kita seharusnya bercermin dari persatuan pelajar Aceh di luar daerahnya, seperti para pelajar Aceh di Yogyakarta yang memupuk rasa nasionalisme Aceh untuk bersatu dalam ranah pendidikan dan pada moment-moment tertentu di luar ranah tersebut.  

Siang itu cuaca mendung hebat di langit Yogyakarta dan Jawa Tengah, namun semangat para pelajar Aceh di Yogyakarta tidak lekas patah. Puluhan pelajar Aceh siang itu menuju Solo tepatnya di Stadion Manahan, salah satu stadion terbaru kota Solo untuk menyaksikan langsung pertandingan penentuan nasib Aceh di tengah kompetisi Indonesia dalam ranah sepak bola. Mereka hadir dengan semangat patriotisme Aceh tanpa rasisme suku hanya untuk membela tim nasionalnya di kota Solo.

Semangat Musawwir dan teman-teman di lapangan hijau itu adalah semangat patriotisme untuk Aceh. Betapa tidak, gol yang diciptakan oleh Afrizal Dilla lewat sundulan kepalanya membawa warna baru bagi para penonton dan masyarakat Aceh bahwa Aceh masih bisa berkompetisi dengan daerah lainnya. Ekspresi rasa bangga dan bahagia tampak dari penonton dan masyarakat Aceh, dan gol itu pula yang menjadi penegas bahwa Aceh masih layak masuk dalam tim-tim besarnya di ISL untuk menunjukkan taringnya.

Paragrap di atas hanyalah sedikit deskripsi untuk menggambarkan bagaimana semangat itu bisa lahir dari sebuah imajinasi komunitas yang lama terkontruksi namun hilang ditelan perjalanan masa. Ketika simbol itu muncul kembali maka imajinasi itu pun bergerak perlahan untuk menegaskan bahwa rasa kebangsaan itu masih tetap ada. Dan fenomena ini kemudian bisa ditemukan pada orang-orang Aceh di luar daerahnya. Bennedic Anderson dalam bukunya “Imagined Communities” menceritakan bahwa imajinasi kebangsaan itu lahir karena kesamaan pandangan dan persepsi terhadap bangsanya.

Persiraja hanyalah instrumen kecil dari imajinasi ke-Acehan, namun instrumen itu bisa lahir untuk kemudian membangunkan kembali kesadaran kolektif yang selama ini tercerai berai. Masih banyak instrumen lain sebenarnya yang bisa memupuk rasa patriotisme dan nasionalisme untuk tetap bertahan dan bangga pada bangsanya.

Sejarah mencatat bahwa Persiraja merupakan salah satu macan Sumatera di era 90-an, saat itu nama Irwansyah yang melegenda dan teman-temannya yang lain begitu terukir di dalam pikiran anak-anak Aceh. Setiap ada pertandingan besar tim “Aceh” ini selalu muncul dengan prestasi yang membanggakan. Hampir tidak ada masyarakat pecinta pesepak bola di Indonesia yang tidak mengenal Persiraja. Namun lagi-lagi kegemilangan yang sedang berada di atas awan itu diusik oleh konflik yang berkepanjangan dan memaksa tim “besar” ini kehilangan namanya dari papan kompetisi liga sepak bola Indonesia.

Hari ini “legenda” itu telah muncul kembali, sejarah telah terulang. Persiraja Banda Aceh kembali datang dengan semangat baru. Spririt patriotisme sebuah tim untuk membangun keutuhan dan persamaan visi dengan mengebiri ego rasis dan individualis hanya untuk satu tujuan yaitu kebanggaan bagi masyarakat terhadap “Aceh”.

Imajinasi yang selama ini berhasil dibangun oleh prestasi Persiraja akhirnya menjadi bentuk lain pembangunan Aceh yang pada masa awal berdirinya bangsa ini banyak dibangun oleh perasaan senasib sepenanggungan karena dijajah Belanda dan konflik berkepanjangan. Dan nilai itulah yang tergambar dari permainan bola, satu tim bersama bergerak untuk menuju visi yang kolektif tanpa ada kepentingan individu dalam sebuah tim.

Apa yang telah dilakukan Persiraja akhirnya menjadi katup pengaman, poros dari konsolidasi sebuah bangsa yang tercabik oleh kepentingan dan atas sejumlah peristiwa yang belakangan ini telah mengganggu imajinasi bersama kita sebagai bangsa Aceh. Peristiwa itu antara lain terlihat pada perilaku sejumlah elite politik yang korup, kepentingan politk sebagian golongan untuk mencabik-cabik Aceh yang satu, intimidasi golongan dan mementingkan dirinya sendiri sehingga rakyat seperti dibiarkan menghadapi penderitaannya.

Prestasi Persiraja juga telah membangkitkan harga diri bersama sebagai bangsa yang selama ini banyak diganggu oleh “tidak maksimalnya” pemerintah melindungi warganya yang menjadi objek eksploitasi koorporasi kapitalisme di daerah-daerah terpencil dengan dalih investasi atau menjaga kedaulatan wilayah yang akan dicabik oleh kepentingan pusat dan segelintir orang.

Akhirnya, masih ada prestasi yang ditorehkan tim sepak bola Aceh yaitu Persiraja. Semoga Aceh bisa menjadi juara di Piala Ti-Phone 2011 dan terus berprestasi hingga masuk ke ranah ISL yang akan bertemu tim-tim tangguh lainnya. Di tengah berbagai masalah Aceh saat ini, tidak banyak prestasi yang dapat membangun imajinasi bersama kita sebagai bangsa Aceh. Padahal, imajinasi bersama itu menjadi guru dari kemajuan sebuah bangsa dan masyarakatnya. Semoga!

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UGM -Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar