Sabtu, 07 Mei 2011

Generasi Online

HARIAN Serambi Indonesia (12/04/2011) memberitakan “Anak Remaja dan Generasi Aceh Kecanduan game online”. Orang tua dimintakan untuk meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas anaknya. Bahkan Wali Kota Banda Aceh, Mawardi Nurdin, meminta secara khusus kepada seluruh orang tua dan warganya di Banda Aceh untuk meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas anak-anak terutama diluar jam pelajaran yang bahkan hingga larut malam ber-game online di sejumlah warung kopi dan penyedia jasa internet di Aceh.

Awalnya, penulis merasa bangga melihat sejumlah anak remaja dan generasi Aceh dengan gaya modern dan laptop mentereng di sejumlah warung kopi yang menyediakan fasilitas wi-fi yang tumbuh ibarat jamur di musim hujan dan tersebar ke seantero Aceh. Penulis mengira sejumlah anak-anak muda Aceh ini sedang memanfaatkan fasilitas teknologi untuk keperluan mendownload materi pelajaran serta mendiskusikan bersama-sama guna memperdalam materi perkuliahan.

Perkiraan penulis meleset tak kala penulis menyaksikan dan melihat anak-anak muda harapan masa depan Aceh ini sebagian besar menghabiskan waktunya hanya untuk chatting, facebook, twitter dan berbagai fasilitas jejaring sosial lainnya. Pengamatan menyolok lagi tak kala fasilitas teknologi ini digunakan untuk berjudi ala game online dan bahkan beberapa orang membuka dan mengakses situs cabul dan pornografi. Kondisi ini diperparah lagi dengan penyedia jasa internet menggunakan sekat-sekat ruang tertutup sehingga memberi peluang dan kesempatan bagi pengguna jasa internet untuk membuka dan mengakses situs-situs tersebut.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak dapat dipungkiri telah membawa suatu perubahan yang sangat besar dalam sejarah peradaban umat manusia termasuk dalam bidang teknologi dan informasi. Teknologi dan informasi ini telah memasuki seluruh aspek kehidupan manusia dan bahkan telah menembus ruang dan batas-batas tanpa sekat (bordersless world). Disadari bahwa teknologi dan informasi ini tidak mungkin bisa dibendung dan akan terus berkembang menuju perbaikan kehidupan ummat manusia. Para ilmuwan mengatakan bahwa abad ini adalah abad teknologi dan informasi dan siapa yang menguasai teknologi dan informasi maka dialah yang menguasai dunia.

Fenomena ini sangat mengkhawatirkan, kecuali generasi Aceh memiliki filter yang sangat kuat yang didorong oleh pemahaman dan pengamalan ajaran agamanya. Pada saat ini generasi Aceh begitu mudah terbuai dan dibuat terlena dengan kemajuan teknologi tersebut. Generasi Aceh kini berbanding terbalik dengan eundatunya yang pada zamannya memberikan peran dan pengaruh hingga nusantara dan bahkan hingga manca negara. Generasi Aceh kini ingin sesuatu serba mudah dan serba instant tanpa harus berjuang dan bersusah payah untuk memperoleh cita-cita dan harapannya.

Kondisi ini sangat berbahaya, karena jati diri orang Aceh menjadi mudah terpengaruh dan sangat rapuh. Hal itu dibuktikan dengan masuknya sejumlah aliran sesat ke dunia kampus dan sejumlah persoalan pendangkalan akidah pascatsunami di Aceh. Persoalan ini  harus menjadi perhatian utama semua pihak khususnya Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU), Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis Pendidikan Aceh (MPA) untuk menata kembali pendidikan Aceh guna membentuk generasi Aceh yang kuat, cerdas, jujur, dan berakhlak mulia.

Penataan kembali roh dan spirit pendidikan Aceh ini sangat penting untuk membentuk generasi Aceh yang memiliki jati diri dan bermental baja, berwawasan global, berkarakter Islami serta bangga dengan ke-Aceh-annya. Spirit ini diyakini bisa membentengi generasi Aceh dari  budaya luar dan pengaruh negatif yang ditimbulkan akibat dunia yang kian menglobal. Spirit ini juga diharapkan mampu memberi pengaruh bagi dunia luar dan menjadi magnet orang untuk belajar dan menuntut ilmu di Aceh.

Spirit ini pula yang telah menjadikan Aceh tempo doeloe maju dan masyhur serta pengaruhnya ke berbagai kawasan di Asia seperti Semenanjung Malaysia, Thailand Selatan dan bahkan hingga ke Eropa.  Spirit ini telah melahirkan sejumlah guru-guru besar, ulama dan  pejuang Aceh yang disegani.

Selama ini jati diri orang Aceh telah luntur dan larut dalam konstelasi global, malah Indonesia dan khususnya Aceh telah menerapkan ajaran-ajaran global yang tidak sesuai dengan budayanya.  Sejarah telah membuktikan rata-rata kemajuan negara-negara di dunia diperoleh dengan mengedepankan jati diri, seperti Inggris dengan budayanya yang sangat disegani didunia sampai sekarang. China dan Jepang dengan karakter budaya leluhurnya justru memberi kekuatan dan pengakuan dunia internasional (Erwin Siddiq, Serambi Indonesia 14/04/2011).

Tidak tertutup kemungkinan sejarah peradaban Aceh ini akan terulang dan terukir kembali apabila seluruh stakeholder Aceh terutama para pemimpinnya mampu membawa dan mengarahkan pembangunan untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama menuju kemakmuran dan kesejahteraan dengan menghindari kepentingan individu dan kelompok sesaat yang sifatnya sesaat dan jangka pendek, semoga Aceh yang lebih baik (rebuild back better) segera dapat terwujud, amien.

* Penulis adalah Plt. Direktur Eksekutif House of Aceh dan Peneliti pada The Aceh Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar