Sabtu, 07 Mei 2011

Disorientasi DPR Aceh

ORIENTASI politik merupakan komitmen yang dibangun secara proses politik antar  personal maupun institusi politik. Gagasan politik yang bersumber dari gagasan personal, kemudian disampaikan dalam institusinya untuk ditetapkan menjadi gagasan politik strategis sebagai kebijakan pembangunan.

Kebijakan pembangunan Aceh dikonstruksikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPRA) Aceh, dasar pengajuannya diawali oleh rancangan gagasan yang dibuatkan oleh eksekutif maupun atas inisiatif legislatif sendiri, ataupun formulasi gagasan dari komponen masyarakat selanjutnya menjadi inisiatif legislatif.

Fenomena di gedung DPRA Aceh saat ini, Partai Aceh merupakan kekuatan mayoritas, selanjutnya Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional dan sebagainya. Mayoritas Partai Aceh yang menduduki kursi-kursi politik di DPRA dan penyebaran kekuatan politik di beberapa Partai lainnya membuka peluang terhadap tumbuhnya perilaku politik yang berimbang “check and balance”. Situasi tersebut membuka jalan terhadap lahirnya kebijakan-kebijakan pembangunan yang konstruktif dan jelas keberpihakannya pada kepentingan masyarakat. Sehingga dominasi partai yang memiliki mayoritas dapat tertutup peluang untuk memposisikan diri mereka sebagai partai yang memiliki kekuasaan tunggal dan mengorientasikan semaunya partai tersebut. Proses demokrasi dapat berlangsung melalui sharing of authority dalam menyiapkan produk-produk regulasi dan tugas lainnya, dan sharing of power antara partai-partai untuk mengelola DPRA menjadi institusi yang terhormat.

Fakta saat ini, DPRA periode 2009-2014 belum mampu menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan masyarakat. Kapasitas yang dimiliki mereka belum mampu dikelola untuk mengkonstruksikan gagasan strategis pembangunan. Masing-masing personal dewan dan representasi partai belum mampu memerdekan diri mereka dalam merelasikan kepentingan politik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Keberadaan anggota dewan baru mampu bekerja sebatas melayani kader-kadernya yang mengunjungi mereka setiap hari. Harapan mereka sebagai manusia pilihan yang berperan untuk melayani semua kepentingan masyarakat Aceh belum tercermin dalam sikap, perilaku dan tindakan mereka. Ternyata keberadaan manusia-manusia pilihan tersebut tidaklah berbeda dengan kita-kita di luar DPRA, buktinya mereka juga apatis dan bingung dengan situasi Aceh saat ini. Sikap apatis tersebut diperlihatkan mereka secara blak-blakkan dan bahkan ada di antara mereka membenarkan situasi tersebut. Mereka juga mengakui bingung untuk keluar dari situasi Aceh yang semakin hari semakin tidak jelas kemana arah pembangunannya, dana pembangunan yang sangat besar tetapi tidak jelas ke mana mengalirnya. Ironisnya lagi mereka mengeluh atas setiap hari masyarakat yang mendatangi mereka untuk mengajukan proposal, memintakan uang minyak mobil dan sebagainya. DPRA bagaikan lembaga yang tidak lagi terhormat, DPRA bak lembaga pegadaian.

Fungsi legislatif sebagai pembuat regulasi (aturan), sejauh ini belum menunjukkan kualitas berpikir mereka dalam merekonstruksi gagasan yang dapat dituangkan dalam qanun-qanun untuk menjawab kepentingan masyarakat memperoleh kesejahteraan dan memperoleh keadilan. Bahkan, qanun-qanun yang sudah ditetapkan ataupun yang sedang dibahas, perjuangan anggota dewan hanyalah mementingkan kepentingan personalnya, institusi dan klan politiknya. Padahal masyarakat mengharapkan pada dewan periode 2009-2014 ini dapat berperan untuk menghasilkan rumusan kebijakan yang dapat menciptakan sistem dan aturan untuk kepentingan pembangunan Aceh secara jangka panjang. Karena periode ini memiliki tanggung jawab besar untuk tidak membawa Aceh kembali pada situasi konflik bersenjata.

Selanjutnya, fungsi legislatif sebagai pengambil kebijakan anggaran. Sejauh ini anggaran yang ditetapkan APBA 2010 dan 2011 belum menunjukkan upaya mereka untuk menyejahterakan masyarakat. Kepentingan politiknya masih belum lepas antara kepentingan legislatif untuk memiliki akses pada anggaran (SKPA). Proses politik anggaran tersebut memaksa eksekutif mengikuti kepentingan legislatif, misalnya dana aspirasi. Untuk melegalkan dana tersebut, maka langkah politik yang diambil oleh legislatif adalah mencangkokkan anggaran tersebut pada anggaran SKPA dengan ketetapan bahwa setiap anggota memiliki Rp 5 miliar.

Kemudian, fungsi legislatif sebagai monitoring pembangunan. Perilaku legislatif untuk memantau pelaksanaan program-program pembangunan bak seorang supervisor proyek, seyogianya hal ini diperankan oleh konsultan supervisor proyek. Tindakan legislatif diharapkan dapat menjadi kekuatan untuk memantau arah dan orientasi pelaksanaan program, bukan mengunjungi proyek dan mengkritisi hal-hal teknis lapangan semata. Kecenderungan terjadinya penyimpangan program, tingkat manfaat bagi masyarakat, efektifitas dan efisiensi program, kelayakan, dan hal yang sangat penting adalah memantau perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik, sehingga jika kecenderungan tidak stabil dan tidak seimbang maka legislatif dapat melahirkan kebijakan untuk merespons keadaan tersebut dan masyarakat mendapatkan hasil positifnya.

Oleh karena itu, DPRA sebagai lembaga yang menentukan arah dan orientasi pembangunan Aceh mesti memperbaiki kualitas kinerja dan kapasitas para dewan. Pimpinan DPRA mesti menyadari atas disorientasi lembaga legislatif dan mereorientasikannya sebagai lembaga yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan pembangunan Aceh. Begitu pula dengan partai-partai politik, para pimpinan partai mesti menyadari bahwa keberadaan DPRA periode 2009-2014 minim prestasi akibat partai yang tidak memiliki program politik yang jelas, sehingga lahirlah kader politik yang belum mampu memerdekan diri mereka.

Terakhir, semua kita mesti menyadari bahwa pilkada ke depan merupakan momentum yang amat penting untuk merekonstruksikan sistem dan tradisi politik Aceh yang benar dan cerdas. Jadi, jikalau momentum politik ini kita respons secara gegabah tanpa mengedepankan kepentingan pembangunan Aceh jangka panjang, maka kehancuran sosial Aceh semakin terbuka untuk terjadi. Oleh karena itu, tradisi politik yang mengedepankan kekuasaan semata sudah selayaknya kita jauhkan dari mentalitas politik kita.

Maka, kita masih memiliki waktu, ataupun kita dapat juga memperpanjang waktu pelaksanaan pilkada guna menyediakan ruang bagi semua kekuatan politik untuk merefleksikan, menegosiasikan kembali dan membangun jaringan politik yang rasional, sehat dan cerdas untuk membangun tradisi politik Aceh yang kosmopolitan. Jika ini bisa dilakukan, merupakan suatu prestasi bagi DPRA untuk mereorientasikan tradisi politik Aceh yang lebih modern ke depan.

* Penulis adalah Sec-Gen Konsorsium Aceh Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar