Posted on Agustus 16, 2008 by wjanto
Pengaruh Metode Pembelajaran Inquiry dalam Belajar Sains
terhadap Motivasi Belajar Siswa
Oleh: Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd.
Abstract
Inquiry-Based Learning is a common method in teaching science
that often associated with the active nature of student involvement,
investigation and the scientific method, critical thinking, hands-on
learning, and experiential learning. It will be studied in this paper
whether or not the method of inquiry-based learning influences the
student motivation to learn. Using some theories of motivation, it was
found that inquiry method positively influences the learning motivation
of students. This positive influence occurs when the learning through
inquiry method is conducted in appropriated conditions, for example the
questions that teachers provide have to produce arousal and student
curiosity.
I. Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap prestasi
belajar siswa di sekolah adalah motivasi belajar. Motivasi belajar yang
tinggi berkorelasi dengan hasil belajar yang baik, sehingga berbagai
upaya dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa di sekolah
ini. Jika motivasi belajar siswa dapat ditingkatkan, maka dapat
diharapkan bahwa prestasi belajar siswa juga akan meningkat.
Strategi meningkatkan motivasi belajar siswa sering menjadi
masalah tersendiri bagi para guru karena terdapat banyak faktor – baik
internal maupun eksternal – yang mempengaruhi motivasi belajar siswa.
Guru menerapkan prinsip-prinsip motivasi belajar siswa dalam desain
pembelajaran, yaitu ketika memilih strategi dan metode pembelajaran.
Pemilihan strategi dan metode tertentu ini akan berpengaruh pada
motivasi belajar siswa.
Upaya meningkatkan motivasi belajar inilah yang menarik untuk
dikaji lebih jauh, sehingga dalam paper ini akan dilakukan studi
mengenai pengaruh metode pembelajaran inquiry dalam belajar Sains di
sekolah terhadap motivasi belajar siswa itu sendiri. Dalam lingkup yang
lebih umum, meningkatnya motivasi belajar siswa juga akan mengoptimalkan
pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas. Penyelesaian masalah yang akan
dikaji dalam paper ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi guru untuk memilih strategi dan metode pembelajaran
yang akan dilaksanakan. Sebagai catatan, penyebutan metode inquiry dalam
keseluruhan paper ini mengacu kepada metode inquiry dalam pembelajaran
bidang Sains.
Perumusan Masalah
Dalam paper ini, masalah utama yang dicoba dipecahkan adalah
apakah terdapat pengaruh metode belajar inquiry dalam belajar Sains di
sekolah terhadap motivasi belajar siswa?
II. Deskripsi Teoretik
A. Metode Belajar Inquiry
Salah satu metode pembelajaran dalam bidang Sains, yang sampai
sekarang masih tetap dianggap sebagai metode yang cukup efektif adalah
metode inquiry. David L. Haury dalam artikelnya, Teaching Science
Through Inquiry (1993) mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred
Novak: inquiry merupakan tingkah laku yang terlibat dalam usaha manusia
untuk menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang memancing rasa
ingin tahu. Dengan kata lain, inquiry berkaitan dengan aktivitas dan
keterampilan aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan atau pemahaman
untuk memuaskan rasa ingin tahu (Haury, 1993).
Alasan rasional penggunaan metode inquiry adalah bahwa siswa
akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai Sains dan akan lebih
tertarik terhadap Sains jika mereka dilibatkan secara aktif dalam
“melakukan” Sains. Investigasi yang dilakukan oleh siswa merupakan
tulang punggung metode inquiry. Investigasi ini difokuskan untuk
memahami konsep-konsep Sains dan meningkatkan keterampilan proses
berpikir ilmiah siswa. Diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil
dari proses berfikir ilmiah tersebut (Blosser, 1990).
Metode inquiry yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa
terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar dan sikap anak terhadap
Sains dan Matematika (Haury, 1993). Dalam makalahnya Haury menyatakan
bahwa metode inquiry membantu perkembangan antara lain scientific
literacy dan pemahaman proses-proses ilmiah, pengetahuan vocabulary dan
pemahaman konsep, berpikir kritis, dan bersikap positif. Dapat
disebutkan bahwa metode inquiry tidak saja meningkatkan pemahaman siswa
terhadap konsep-konsep dalam Sains saja, melainkan juga membentuk sikap
keilmiahan dalam diri siswa.
Metode inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya
menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam
proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri,
mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar
ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran
dengan metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas
guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk
dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan
dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber
belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan
pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan
siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).
Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry
sangat beragam, tergantung pada situasi dan kondisi sekolah, namun
dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5
komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative
Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton,
2005).
Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah
pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu siswa dan atau
kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi kesempatan untuk
bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan
dipecahkan oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti
atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa. Untuk menjawab
pertanyaan ini – sesuai dengan Taxonomy Bloom – siswa dituntut untuk
melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis.
Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam
buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.
Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif
siswa merupakan suatu keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai
fasilitator. Siswa bukan secara pasif menuliskan jawaban pertanyaan pada
kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku,
melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang
menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam
melakukan sebuah investigasi.
Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi,
bekerja berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai
gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari
permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan
mungkin saja semua jawaban benar.
Performance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya
siswa diminta untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan
pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk
produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan
lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
Variety of Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam
sumber belajar, misalnya buku teks, website, televisi, video, poster,
wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
B. Teori – teori Motivasi
Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa
yang memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi
aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan
kemudi pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep
tentang motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse),
dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan
(need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage
& Berliner, 1984).
Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas,
kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang
memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah
bagi aktivitas belajar siswa.
Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan
berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive,
psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
1. Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan
Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal,
yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan
kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat
sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika
tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun,
sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas
tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction
Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul mungkin
bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu
kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan
(drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga
meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon
berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull,
dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja
bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai
(Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk
persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai
penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:
Behaviour = Drive × Habit
Karena hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian,
maka ketika drive = 0, makhluk hidup tidak akan bereaksi sama sekali,
walaupun habit yang diberikan sangat kuat dan jelas (Berliner &
Calfee, 1996).
Pada periode 1935 – 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory
yang dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan
bahwa perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment
(E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk
mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh
tiga faktor: tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G )
atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan
(e).
Force = f(t, G)/e
Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding
terbalik dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang
dengan tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh,
seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat
atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai
tension yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak
psikologis yang bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).
2. Teori-teori Cognitive
Pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance
Theory yang menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua
keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita
akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini.
Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan
ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan seseorang
mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan
selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001).
Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah
Atribution Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold
Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini
menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau
kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan
attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun
eksternal dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti tampak
pada diagram berikut.
Internal
Eksternal
Tidak terkontrol
Kemampuan (ability)
Keberuntungan (luck)
Terkontrol
Usaha (effort)
Tingkat kesulitan tugas
Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa
mengembangkan atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa
memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa
mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku
belajar yang melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang
secara matematis dituliskan dalam persamaan: Motivation = Perasaan
berpeluang sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward
(instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value)
Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari
tiga variabel, maka jika salah satu variabel rendah, motivasi juga akan
rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada
supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak
percaya bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak
melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak
menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil
kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.
3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini
adalah Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan
oleh Freud (1856 – 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau
perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang
terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression).
Erik Erikson yang merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud,
menyatakan dalam Theory of Socioemotional Development (atau Psychosocial
Theory) bahwa yang paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan
pribadi adalah interaksi sosial (Huitt, 1997).
4. Teori-teori Humanistic
Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini
adalah Theory of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow
(1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs.
Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan
fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki,
dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan
yang lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level
berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan
estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence.
Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan
hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow
merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia
dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang
mencoba mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan
semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand
Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard,
Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang
merupakan sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan
punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang,
kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai tujuan), 4)Internal
Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept
yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
5. Teori-teori Social Learning
Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter
menaruh perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan
pada sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan
pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan
utama dalam psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau
reinforcement dan pendekatan cognitive atau field. Menurut Rotter,
motivasi merupakan fungsi dari expectation dan nilai reinforcement.
Nilai reinforcement merujuk pada tingkat preferensi terhadap
reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996).
6. Teori Social Cognition
Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura.
Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan
konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran
dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang
lain. Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang
mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu
1)Attention, memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa
yang pernah dilihat atau diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu
dengan cara meniru dari apa yang dilihat, 4)Motivation, lingkungan
memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan
muncul lagi (reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).
C. Teori Curiosity Berlyne
Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang
Curiosity atau rasa ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul
ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau
kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem
syaraf pusat kita. Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian
inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity
akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi
ketidakpastian (Gagne, 1985).
Dalam pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi
suatu eksperimen yang memberikan hasil yang tidak terduga, hal ini akan
menimbulkan konflik konseptual dalam diri siswa, dan ini akan memotivasi
siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut berbeda dengan
apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang
diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan
termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam
meningkatkan motivasi. Sejarah juga membuktikan bahwa curiosity memiliki
banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis,
dan orang-orang yang kreatif.
Salah satu metode pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa
adalah inquiry teaching. Dalam metode ini, siswa lebih banyak ditanya
daripada diberikan jawaban. Dengan mengajukan pertanyaan, bukan hanya
pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat karena siswa
mengalami ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut
(Gagne, 1985).
D. Hipotesis
Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat diambil suatu
hipotesis bahwa terdapat kaitan yang erat antara peningkatan motivasi
belajar siswa terhadap penerapan metode inquiry dalam pembelajaran
Sains.
III. Diskusi
Seperti yang telah diteliti oleh Haury (Haury, 1993), salah
satu manfaat yang dapat diperoleh dari metode inquiry adalah munculnya
sikap keilmiahan siswa, misalnya sikap objektif, rasa ingin tahu yang
tinggi, dan berpikir kritis, Jika metode inquiry dapat mempengaruhi
sikap keilmiahan siswa, maka muncul pertanyaan apakah metode ini juga
dapat mempengaruhi motivasi belajar dalam diri siswa? Sesuai dengan
teori curiosity Berlyne, rasa ingin tahu yang dimiliki siswa akan
memberikan motivasi bagi siswa tersebut untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya; yang tidak lain adalah motivasi
untuk belajar. Dengan sikap keilmiahan yang baik, konsep-konsep dalam
Sains lebih mudah dipahami oleh siswa. Begitu juga, dengan motivasi
belajar yang tinggi, kegiatan pembelajaran Sains juga menjadi lebih
mudah mencapai tujuannya, yaitu pemahaman konsep-konsep Sains. Jadi,
tampaknya ada hubungan yang kuat antara motivasi belajar dengan sikap
keilmiahan yang terbentuk sebagai akibat dari penerapan metode inquiry.
Rasa ingin tahu yang tinggi dapat dikaitkan dengan teori
Maslow, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang salah
satunya kebutuhan untuk mengetahui dan kebutuhan untuk memahami. Oleh
karena itu, metode inquiry yang biasa diterapkan dalam pembelajaran
Sains secara tidak langsung sebenarnya mencoba memenuhi salah satu
kebutuhan manusia tersebut.
Seperti yang telah diuraikan dalam deskripsi teoretik di
depan, komponen pertama dalam metode inquiry adalah question atau
pertanyaan. Dalam pandangan teori-teori motivasi behavioral,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru dapat diartikan sebagai
rangsangan (arousal) atau dorongan (drive). Adanya rangsangan dan
dorongan ini menyebabkan siswa termotivasi untuk meresponnya melalui
kegiatan ilmiah, yaitu mencari jawaban dari pertanyaan. Kegiatan ilmiah
yang dilakukan, sesuai teori Hull tidak lain adalah upaya untuk
mengurangi dorongan atau drive.
Yang perlu diperhatikan dalam memberikan pertanyaan kepada
siswa adalah bahwa ada rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu
sesuai dengan Optimal Arousal Theory. Sebab, jika rangsangan yang
diberikan terlalu tinggi, maka motivasi siswa justru dapat turun
kembali. Harus juga dipertimbangkan apa yang oleh Field Theory disebut
sebagai jarak psikologis ke suatu tujuan; dalam memberikan pertanyaan,
sebaiknya “jarak” antara pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa
dengan jawaban yang diharapkan tidak terlalu jauh, supaya motivasi untuk
menjawab pertanyaan tersebut besar karena jarak psikologis tersebut
berbanding terbalik dengan motivasi.
Dalam pandangan teori-teori motivasi Cognitive, memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam pembelajaran Sains dengan
metode inquiry sama artinya dengan menciptakan ketidakcocokan (konflik)
antara apa yang dipikirkan oleh siswa dengan apa yang seharusnya menjadi
jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cognitive Dissonance Theory
menyiratkan bahwa jika guru dapat menciptakan konflik-konflik tersebut,
maka siswa akan berusaha (termotivasi) untuk mengubah perilakunya, yang
kemudian mengubah pola pikirnya.
Sementara menurut Expectation Theory, jika seseorang merasa
tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia
tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia
tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil
kemungkinan bahwa ia akan terlibat dan termotivasi dalam aktivitas
belajar. Oleh karena itu, jika metode inquiry diharapkan dapat
meningkatkan motivasi siswa, pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru
kepada siswa memiliki batasan-batasan tertentu, misalnya siswa harus
merasa dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang disyaratkan dalam metode
pembelajaran Inquiry, yang oleh Garton disebut sebagai pertanyaan
essential, antara lain harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut (Garton,
2005).
dapat ditanyakan berulang-ulang
menunjukkan kepada siswa hubungan antara beberapa konsep dalam
sebuah subjek
muncul dari usaha untuk belajar lebih jauh mengenai kehidupan,
berupa pertanyaan umum dan membuka pertanyaan-pertanyaan lebih jauh
menuntun pada konsep utama subjek tertentu, untuk menjawab
pertanyaan bagaimana kita mengetahuinya atau mengapa
memberikan stimulus dan menumbuhkan minat untuk menyelidiki;
melibatkan siswa dan menimbulkan curiosity
melibatkan level berpikir yang lebih tinggi
tidak dapat langsung dijawab
tidak dapat dijawab hanya dengan satu kalimat
Contoh pertanyaan essential antara lain:
“Apa yang menyebabkan sebuah zat disebut zat padat, zat cair,
atau gas?”
“Darimana datangnya ayam dan bagaimana cara kerja telur ayam
sehingga bisa menjadi ayam?”
“Mengapa bentuk bulan berubah-ubah?”
Dalam proses pembelajaran, guru dan siswa bersama-sama
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lain, yang oleh Garton disebut
pertanyaan unit, untuk menjawab pertanyaan essential. Ciri pertanyaan
unit antara lain:
menanyakan konsep-konsep apa saja yang terdapat dalam subjek
pertanyaan essential
membantu siswa menjawab pertanyaan essential secara lebih
spesifik
Contoh pertanyaan unit antara lain:
Apa saja contoh zat padat, zat cair, dan gas?
Apakah ciri-ciri zat padat, zat cair, dan gas?
Komponen kedua dan ketiga dalam metode inquiry adalah student
engangement (keterlibatan) dan cooperative interaction (interaksi
kerjasama). Kedua hal ini akan dibahas bersamaan karena memiliki
kedekatan. Keterlibatan siswa dan interaksi kerjasama dapat ditinjau
berdasarkan teori-teori motivasi Psychoanalitic, Humanistic, dan Social
Cognition.
Dalam pandangan Theory of Socioemotional Development, yang
paling mendorong atau memotivasi perilaku manusia dan pengembangan
pribadi adalah interaksi sosial. Dalam pembelajaran dengan metode
inquiry, ketika siswa merasa dilibatkan oleh guru (lingkungan) dalam
proses menjawab pertanyaan-pertanyaan dan melakukan interaksi dengan
sesama siswa melalui kerja kelompok, maka perilaku dan kepribadiannya
berubah ke arah yang lebih baik, yaitu ikut aktif terlibat dalam
kegiatan dan mau bekerjasama. Supaya keterlibatan dan kerjasamanya dapat
diterima oleh lingkungan, maka ia harus menyiapkan diri sebaik mungkin,
misalnya dengan membaca banyak buku teks. Artinya, motivasi belajar
siswa meningkat.
Dalam pandangan teori Maslow, manusia memiliki kebutuhan akan
penghargaan dan aktualisasi diri. Kesempatan siswa untuk terlibat dan
bekerjasama dalam sebuah pembelajaran dengan metode inquiry dapat
dikatakan sebagai kesempatan untuk memenuhi dua kebutuhan – penghargaan
dan aktualisasi diri – tersebut. Dengan demikian, metode inquiry
memberikan ruang bagi siswa untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga siswa
pun akan memiliki motivasi yang tinggi, tentu saja motivasi dalam
belajar.
Keterlibatan dan interaksi kerjasama dalam pembelajaran Sains
dengan metode inquiry juga dapat ditinjau berdasarkan teori Social
Cognition, yang menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat terjadi
antara lain melalui attention dan motivation. Attention, artinya siswa
memperhatikan lingkungan melalui keterlibatannya. Motivation, artinya
lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku.
Contoh konsekuensi adalah dianggap tidak aktif terlibat dan tidak dapat
bekerjasama. Untuk menghindari konsekuensi ini, siswa termotivasi untuk
belajar sehingga konsekuensi yang diperoleh adalah konsekuensi yang
positif.
Komponen keempat dalam metode inquiry adalah performance
evaluation. Performance evaluation dapat ditinjau dari Expectation
Theory yang menyatakan bahwa motivasi merupakan fungsi dari expectation,
reward, dan nilai. Dalam performance evaluation, siswa akan berusaha
sebaik-baiknya dengan expectancy mendapatkan reward (misalnya nilai yang
baik). Dengan demikian, sesuai teori ini motivasi siswa akan meningkat
karena metode inquiri mengandung performance evaluation. Hal sebaliknya
dapat dinyatakan bahwa motivasi siswa akan rendah dalam suatu
pembelajaran yang tidak memasukkan unsur performance evaluation di
dalamnya.
Mirip dengan Expectation Theory, Social Learning Theory juga
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang adalah
expectation dan nilai reinforcement. Dengan demikian, melalui
performance evaluation ini motivasi siswa akan meningkat karena
expectation siswa yang tinggi.
Berdasarkan teori Maslow, dalam performance evaluation siswa
diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan
kebutuhan aktualisasi diri. Artinya, adanya kesempatan ini menyebabkan
motivasi siswa meningkat agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Komponen kelima dalam metode inquiry adalah Variety of
Resources. Komponen ini dapat dikaitkan dengan teory Curiosity Berlyne
yang menyimpulkan bahwa curiosity meningkatkan motivasi belajar siswa.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru menimpulkan ketidakpastian atau
konflik konseptual dalam diri siswa. Konflik konseptual ini akan
menimbulkan rasa ingin tahu yang besar dalam diri siswa. Untuk menjawab
rasa ingin tahunya, siswa harus memiliki banyak pengetahuan, yang dapat
diperoleh dari berbagai macam sumber belajar. Artinya, dalam metode
inquiry sebenarnya guru menciptakan curiosity siswa, yang meningkatkan
motivasi belajarnya, dan guru kemudian memberikan kesempatan kepada
siswa untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut melalui berbagai macam
sumber belajar. Tentu saja, peranan guru sangat penting dalam
memilihkan sumber belajar yang tepat agar siswa tidak terlalu lama dalam
keadaan “belum menemukan jawaban”, karena hal ini dapat menurunkan
kembali motivasinya.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran kelima komponen dalam metode inquiry di
atas ditinjau dari berbagai teori tentang motivasi dan curiosity
terlihat bahwa metode inquiry memberikan kesempatan meningkatnya
motivasi belajar siswa. Memberikan kesempatan dapat diartikan sebagai
suatu ketidakpastian, masih terdapat batasan-batasan. Misalnya, jika
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa terlalu sulit (jarak
psikologisnya jauh), tidak memberikan rangsangan dan curiosity yang
tinggi, maka peningkatan motivasi belajar juga sulit diharapkan. Namun
secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dari
metode inquiry terhadap motivasi belajar siswa.
V. Referensi
Atkinson, Rita., Atkinson, Richard, C., & Hilgard, Ernest,
R., 1983. Introduction to Psychology, 8th Ed. Harcourt Brace
Jovanovich, Inc.
Berliner, David, C. & Calfee, Robert.C.(Editor), 1996.
Handbook of Educational Psychology. New York, Simon & Schuster
Macmillan.
Blosser, Patricia E. & Helgenson, Stanley L. (1990).
Selecting Procedures for Improving the Science Curriculum. Columbus, OH:
ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environment Education.
(ED325303)
Budiningsih, Asri, C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta,
Penerbit Rineka Cipta.
Gage, N.L. & Berliner, David, C. (1984). Educational
Psychology 3rd Ed. Boston, Houghton Mifflin Company.
Gagne, Ellen, D., 1985. The Cognitive Psychology of School
Learning. Boston, Little, Brown and Company
Garton, Janetta., 2005. Inquiry-Based Learning. Willard R-II
School District, Technology Integration Academy.
Haury, L. David. (1993). Teaching Science Through Inquiry.
Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and
Environment Education. (ED359048)
Huitt, W. (1997). Socioemotional development. Educational
Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University
____. (2004). Observational (social) learning: An overview.
Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State
University.
____. 2001. Motivation to Learn: An Overview. Educational
Psychology Interactive. Valdosta, Valdosta State University
Leonard, Nancy, H., Beauvais, Laura Lynn., & Scholl
Richard, W., 1995. “A Self Concept-Based Model of Work Motivation”. In
The Annual Meeting of the Academy of Management (URL:
http://chiron.valdosta.edu/wh…).
Sagala, Syaiful., 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran.
Bandung, Penerbit Alfabeta.
Wortman, Camille., Loftus, Elizabeth. & Weaver, Charles.,
2004. Psychology, 5th Ed. Boston, McGraw-Hill.
Yerkes, R.M. & Dodson, J.D. (1908) The Relation of
Strength of Stimulus to Rapidity of Habit-Formation. Journal of
Comparative Neurology and Psychology, 18.
Filed under: Artikel
Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar