Selasa, 19 April 2011

Menulis, Merekam Jejak yang Tercecer

“Kita terlahir dari sebuah sejarah, kemudian mati bersama sejarah, menjadi sejarah”. Itulah salah satu kutipan  dalam tulisan Fina Sato  yang berjudul Catatan Negeri Terakhir (Jurnal Cerpen Indonesia). Sebuah karya yang terinspirasi dari sejarah meleburnya tiga kota besar, yakni Herculenium, Pompeii, dan Stabiae di Italia pada pertengahan abad ke-19 akibat erupsi Gunung Vesuvius. Sebelum musnah, Sergei (tokoh utama) sudah mengetahuinya dari seorang peramal. Oleh karena itu, ia tak ingin kehidupannya tenggelam begitu saja. Maka, ia titipkan sepucuk surat dan buah maple pada seorang pengembara sebagai tanda bahwa kehidupan pernah ada di sekitar anak Gunung Vesuvius, yang kelak orang akan mengabadikannya dalam sejarah. Sergei, sebuah cerita penuh pengorbanan dan cinta pada tanah airnya, sampai-sampai ia setia tubuhnya melebur bersama muasal kehidupannya.

Cerita di atas menjadi inspirasi bagi kita sebagai orang Aceh supaya bangga pada sejarah sendiri. Kita memiliki kampung yang kaya akan sejarah kearifan lokal, tersebar di sembilan induk penjuru mata angin mulai dari hulu barat hingga ujung timur, baik berupa sastra, budaya, maupun politik. Namun coba kita perhatikan, berapa persen dari sekian banyak khazanah lokal yang terekam oleh tinta sejarah. Penguasa Aceh masa lalu hanya sanggup mengupah kuli tinta dan satrawan untuk merangkum kehidupan istana melalui hikayat, syair, dan cerita lokal. Ya, tentu saja penuh nuansa politik karena mereka  diupah oleh raja. Mereka secara tidak langsung mengumbar aroma manis tentang raja, kekuasaan, dan istananya yang kelak akan dikenang sepanjang masa dalam retasan sejarah.

Sementara sebagian besar rakyat jelata di masa itu hanya mampu mewarisi tradisi anonim turun temurun tentang sejarah budaya kampungnya. Entah ada terbesit di benak mereka bahwa suatu ketika khazanah itu akan sirna  digerus zaman. Jika memang ada terpikir apa boleh buat. Mereka cuma berharap semoga khazanah tersebut dapat bertahan lama, walau suatu masa akan sirna jua. Sudahlah, orang zaman dulu memang telanjur timbul tenggelam dalam sejarahnya sendiri. Sementara kita sebagai empunya sejarah, bagaimana caranya dapat mempertahankan dan mewarisi sejarah kearifan lokal pada anak cucu kita.

Beranjak dari analogi cerita Sergei di atas, kita  prihatin tentang banyaknya lisan sejarah yang tercecer di penjuru Aceh yang tak sempat diabadikan orang zaman dahulu, sedangkan mereka bisa meramalkan bahwa kelak akan melebur bersama erupsi zaman.  Secara tidak langsung mereka menitahkan kita supaya sempat memberikan sesuatu  kepada anak cucu  sebagai tanda bahwa sebuah sejarah luar biasa pernah terlahir di sini sebelum fase pra-modernis runtuh.

Tugas yang kita emban bersama di antaranya adalah bagaimana caranya kita mendidik generasi kita supaya tidak sekadar cinta pada sejarahnya sendiri, tetapi membudayakan mereka belajar merekam jejak-jejak sejarah yang tercecer dengan cara menulis. Pena adalah alat yang sangat ampuh untuk mengabadikan suatu hal supaya tahan lama, tak lekang digerus zaman.

Dalam belajar menulis, pertama, anak-anak diberi ruang kreativitas karena ruang belajar dan metode pembelajaran di sekolah terlalu sempit dan sangat terbatas. Ruang kreativitas itu dimaksudkan juga untuk mengasah potensinya secara terbuka dan bebas terutama dalam menulis budaya sejarahnya sendiri. Sebagai pemula, hal  yang mereka lakukan adalah mencatat informasi sederhana dan mengemukakan pendapat tentang nilai-nilai budaya yang berkembang di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Selanjutnya barulah mereka menulis dengan serius yang  tentu saja mereka butuh proses yang panjang, harus banyak membaca referensi-referensi budaya lokal untuk memperkuat pembenaran dari suatu masalah, lalu belajar menuangkan ide, mengumpulkan data, terakhir meraciknya menjadi sebuah tulisan populer.

Ada satu keprihatinan yang terbesit di benak penulis, ketika seorang siswa pernah bertanya kepada saya; kenapa penulis Aceh sekarang banyak membuat tulisan tentang kearifan lokal, kenapa tidak berusaha membuat tulisan tentang kehidupan luar negeri agar lebih menarik dan banyak wawasan? Lalu, saya tanggapi pertanyaannya itu dengan sebuah analogi; seorang yang bukan guru tapi dia menguasai materi dan teori teknik pembelajaran. Namun ketika dia berperan menjadi guru dengan berdiri di depan siswa tentu ia akan terlihat kaku. Begitu juga jika ada seorang novelis Aceh yang menulis novel tentang Palestina, padahal ia tak pernah menginjakkan kaki di tanah Jerusalem tersebut. Tentu cerita tersebut sangat membosankan. Intinya, sebuah karya menarik sesungguhnya beranjak dari luapan perasaan penulis dan lingkungan sekelilingnya.

Coba kita perhatikan, kecermelangan penulis-penulis Aceh di belantara Nusantara saat ini bertolak dari latar belakang kehidupannya, diracik kemudian menjadi tulisan sederhana yang dibumbui nilai-nilai khazanah lokal seperti Perempuan Pala karya Azhari (mendapat penghargaan Free Award dari Belanda tahun 2005), Seulanga karya Alimudin (juara I Lomba Menulis FTI di TMII), Lampuki karya Arafat Nur (salah satu dari empat karya terbaik Lomba Menulis DKJ), dan masih banyak lagi deretan penulis Aceh lainnya beserta karyanya yang tak mungkin disebutkan satu per satu.

Miris memang, generasi kita telah larut dalam euforia khazanah asing. Satu sisi memang tak ada salahnya untuk menambah wawasan tapi ia tak boleh mengabaikan sejarah muasal kehidupannya. Jangan seperti dalam kata pepatah: Toeb ulee deuh punggong (kepala ditutup tapi dubur terlihat).

Terakhir, pelestarian nilai-nilai sejarah budaya perlu adanya  kerja sama dari semua elemen masyarakat. Memang kini ada lembaga tertentu yang memfasilitasi  dan  mengidentifikasi sejarah budaya dan manuskrip kuno yang tercecer di ranah belantara Aceh. Namun mereka akan kewalahan bekerja tanpa dukungan  lembaga kebudayaan lain, masyarakat, dan pemerintah. Jangan sampai terulang seperti kasus penjarahan beberapa budaya nusantara oleh negeri jiran yang membuat pemerintah kita kebakaran jenggot, seolah-olah tersentak dari tidur nyenyaknya dalam menghadapi suatu peristiwa, padahal peristiwa tersebut bersumber dari kelalaian kita sendiri. Ingat, bahwa kita punya ‘warisan permata’ yang tak ternilai harganya. Pasang surut harga permata tersebut tergantung pada pewaris permata tersebut, majukah, sekadar bertahan, ataukah runtuh tak berbekas.

* Hendra Kasmi, Cerpenis dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAIT Al Fityan School Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar