“Kita terlahir dari sebuah sejarah, kemudian mati bersama
sejarah, menjadi sejarah”. Itulah salah satu kutipan dalam tulisan Fina
Sato yang berjudul Catatan Negeri Terakhir (Jurnal Cerpen Indonesia).
Sebuah karya yang terinspirasi dari sejarah meleburnya tiga kota besar,
yakni Herculenium, Pompeii, dan Stabiae di Italia pada pertengahan abad
ke-19 akibat erupsi Gunung Vesuvius. Sebelum musnah, Sergei (tokoh
utama) sudah mengetahuinya dari seorang peramal. Oleh karena itu, ia tak
ingin kehidupannya tenggelam begitu saja. Maka, ia titipkan sepucuk
surat dan buah maple pada seorang pengembara sebagai tanda bahwa
kehidupan pernah ada di sekitar anak Gunung Vesuvius, yang kelak orang
akan mengabadikannya dalam sejarah. Sergei, sebuah cerita penuh
pengorbanan dan cinta pada tanah airnya, sampai-sampai ia setia tubuhnya
melebur bersama muasal kehidupannya.
Cerita di atas menjadi
inspirasi bagi kita sebagai orang Aceh supaya bangga pada sejarah
sendiri. Kita memiliki kampung yang kaya akan sejarah kearifan lokal,
tersebar di sembilan induk penjuru mata angin mulai dari hulu barat
hingga ujung timur, baik berupa sastra, budaya, maupun politik. Namun
coba kita perhatikan, berapa persen dari sekian banyak khazanah lokal
yang terekam oleh tinta sejarah. Penguasa Aceh masa lalu hanya sanggup
mengupah kuli tinta dan satrawan untuk merangkum kehidupan istana
melalui hikayat, syair, dan cerita lokal. Ya, tentu saja penuh nuansa
politik karena mereka diupah oleh raja. Mereka secara tidak langsung
mengumbar aroma manis tentang raja, kekuasaan, dan istananya yang kelak
akan dikenang sepanjang masa dalam retasan sejarah.
Sementara
sebagian besar rakyat jelata di masa itu hanya mampu mewarisi tradisi
anonim turun temurun tentang sejarah budaya kampungnya. Entah ada
terbesit di benak mereka bahwa suatu ketika khazanah itu akan sirna
digerus zaman. Jika memang ada terpikir apa boleh buat. Mereka cuma
berharap semoga khazanah tersebut dapat bertahan lama, walau suatu masa
akan sirna jua. Sudahlah, orang zaman dulu memang telanjur timbul
tenggelam dalam sejarahnya sendiri. Sementara kita sebagai empunya
sejarah, bagaimana caranya dapat mempertahankan dan mewarisi sejarah
kearifan lokal pada anak cucu kita.
Beranjak dari analogi cerita
Sergei di atas, kita prihatin tentang banyaknya lisan sejarah yang
tercecer di penjuru Aceh yang tak sempat diabadikan orang zaman dahulu,
sedangkan mereka bisa meramalkan bahwa kelak akan melebur bersama erupsi
zaman. Secara tidak langsung mereka menitahkan kita supaya sempat
memberikan sesuatu kepada anak cucu sebagai tanda bahwa sebuah sejarah
luar biasa pernah terlahir di sini sebelum fase pra-modernis runtuh.
Tugas
yang kita emban bersama di antaranya adalah bagaimana caranya kita
mendidik generasi kita supaya tidak sekadar cinta pada sejarahnya
sendiri, tetapi membudayakan mereka belajar merekam jejak-jejak sejarah
yang tercecer dengan cara menulis. Pena adalah alat yang sangat ampuh
untuk mengabadikan suatu hal supaya tahan lama, tak lekang digerus
zaman.
Dalam belajar menulis, pertama, anak-anak diberi ruang
kreativitas karena ruang belajar dan metode pembelajaran di sekolah
terlalu sempit dan sangat terbatas. Ruang kreativitas itu dimaksudkan
juga untuk mengasah potensinya secara terbuka dan bebas terutama dalam
menulis budaya sejarahnya sendiri. Sebagai pemula, hal yang mereka
lakukan adalah mencatat informasi sederhana dan mengemukakan pendapat
tentang nilai-nilai budaya yang berkembang di lingkungan keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
Selanjutnya barulah mereka menulis dengan
serius yang tentu saja mereka butuh proses yang panjang, harus banyak
membaca referensi-referensi budaya lokal untuk memperkuat pembenaran
dari suatu masalah, lalu belajar menuangkan ide, mengumpulkan data,
terakhir meraciknya menjadi sebuah tulisan populer.
Ada satu
keprihatinan yang terbesit di benak penulis, ketika seorang siswa pernah
bertanya kepada saya; kenapa penulis Aceh sekarang banyak membuat
tulisan tentang kearifan lokal, kenapa tidak berusaha membuat tulisan
tentang kehidupan luar negeri agar lebih menarik dan banyak wawasan?
Lalu, saya tanggapi pertanyaannya itu dengan sebuah analogi; seorang
yang bukan guru tapi dia menguasai materi dan teori teknik pembelajaran.
Namun ketika dia berperan menjadi guru dengan berdiri di depan siswa
tentu ia akan terlihat kaku. Begitu juga jika ada seorang novelis Aceh
yang menulis novel tentang Palestina, padahal ia tak pernah menginjakkan
kaki di tanah Jerusalem tersebut. Tentu cerita tersebut sangat
membosankan. Intinya, sebuah karya menarik sesungguhnya beranjak dari
luapan perasaan penulis dan lingkungan sekelilingnya.
Coba kita
perhatikan, kecermelangan penulis-penulis Aceh di belantara Nusantara
saat ini bertolak dari latar belakang kehidupannya, diracik kemudian
menjadi tulisan sederhana yang dibumbui nilai-nilai khazanah lokal
seperti Perempuan Pala karya Azhari (mendapat penghargaan Free Award
dari Belanda tahun 2005), Seulanga karya Alimudin (juara I Lomba Menulis
FTI di TMII), Lampuki karya Arafat Nur (salah satu dari empat karya
terbaik Lomba Menulis DKJ), dan masih banyak lagi deretan penulis Aceh
lainnya beserta karyanya yang tak mungkin disebutkan satu per satu.
Miris
memang, generasi kita telah larut dalam euforia khazanah asing. Satu
sisi memang tak ada salahnya untuk menambah wawasan tapi ia tak boleh
mengabaikan sejarah muasal kehidupannya. Jangan seperti dalam kata
pepatah: Toeb ulee deuh punggong (kepala ditutup tapi dubur terlihat).
Terakhir,
pelestarian nilai-nilai sejarah budaya perlu adanya kerja sama dari
semua elemen masyarakat. Memang kini ada lembaga tertentu yang
memfasilitasi dan mengidentifikasi sejarah budaya dan manuskrip kuno
yang tercecer di ranah belantara Aceh. Namun mereka akan kewalahan
bekerja tanpa dukungan lembaga kebudayaan lain, masyarakat, dan
pemerintah. Jangan sampai terulang seperti kasus penjarahan beberapa
budaya nusantara oleh negeri jiran yang membuat pemerintah kita
kebakaran jenggot, seolah-olah tersentak dari tidur nyenyaknya dalam
menghadapi suatu peristiwa, padahal peristiwa tersebut bersumber dari
kelalaian kita sendiri. Ingat, bahwa kita punya ‘warisan permata’ yang
tak ternilai harganya. Pasang surut harga permata tersebut tergantung
pada pewaris permata tersebut, majukah, sekadar bertahan, ataukah runtuh
tak berbekas.
* Hendra Kasmi,
Cerpenis dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAIT Al Fityan School
Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar