Rabu, 23 Maret 2011

Memahami Konsep Pakem

Sat, Mar 19th 2011, 08:43

Memahami Konsep PAKEM

AWALNYA saya berekspektasi kepada Jarjani Usman (JU) lewat artikel “PAKEM Remang-Remang” (Serambi Indonesia, Sabtu 12 Maret 2011), akan memberikan pencerahan kepada pembaca dari kalangan pendidik, khususnya guru, untuk lebih memahami konsep PAKEM dan apa persoalannya sehingga diklaim dalam kondisi remang-remang di Aceh.



Namun, setelah saya baca berulang-ulang, mulai terasa ada miskonsepsi substansial. Terlihat JU hanya menjadikan PAKEM sebagai halte transit untuk menyampaikan substansi yang bukan kapling PAKEM dengan mengkontradiksikan antara PAKEM sebagai pendekatan pembelajaran dengan budaya kekerasan di sekolah yang kemudian disebutnya “Pakham”. Padahal, meskipun masih dalam konteks pendidikan, keduanya (PAKEM dan budaya kekerasan) memiliki fokus berbeda, sehingga kurang relevan untuk dikait-kaitkan. Sebagai pengajar yang selama ini mengasuh mata kuliah Strategi dan Model-Model Pembelajaran, saya merasa perlu memberikan kuliah ulangan (remedial) kepada JU sekaligus berharap pembaca dapat lebih memahami konsep PAKEM secara komprehensif dan proporsional.

Dalam pembelajaran kita mengenal sejumlah istilah antara lain pendekatan (approach), strategi, metode, teknik, dan model pembelajaran. JU memasukkan PAKEM ke dalam pendekatan pembelajaran, tetapi saya yakin JU tidak memiliki dasar teori pendukungnya. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Contoh pendekatan pembelajaran yang pernah digunakan di Indonesia antara lain yaitu Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA/active learning, kurikulum 1984)),  Integrated Learning (Pembelajaran Terpadu, kurikulum 1994), dan Cooperative Learning/Contextual Teaching and Learning (CTL) (Pembelajaran Bersama/Kontekstual, KBK 2004 dan KTSP 2006). Ketiga pendekatan ini diadopsi dari negara-negara maju dan memiliki fundamental teori yang kokoh seperti teori konstruktivisme dan kognitif yang didukung oleh sejumlah pencetus teori belajar antara lain Bruner, Piaget, Vygotsky, dan John Dewey.

Menurut Sriudin (2008) awal mula istilah PAKEM dikembangkan dari AJEL (Active Joyfull and Efective Learning). Untuk pertama kali di Indonesia, pada tahun 1999 disebut PEAM (Pembelajaran Efektif, Aktif dan Menyenangkan). Seiring dengan perkembangan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), pada tahun 2002 istilah PEAM diganti menjadi PAKEM, yaitu kependekan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Namun demikian, jika dicermati dalam modul-modul PAKEM, landasan teori yang digunakan di dalamnya pada hakikatnya adalah mengambil teori-teori tentang active learning atau pembelajaran aktif.

PAKEM belum layak disebut pendekatan pembelajaran, karena belum ada teori atau literatur yang mendasarinya, tetapi sebuah istilah yang mengintegrasikan dan mengkompilasikan sejumlah pendekatan pembelajaran yang bertujuan menstimulasi guru untuk dapat merancang pembelajaran yang kreatif inovatif. Ketiadaan dasar teori inilah, membuat istilah PAKEM  kemudian dapat diubah-ubah dan dimodifikasi menjadi PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan). Khusus untuk Aceh dimodifikasi lagi dengan nama PAIKEMIS (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan Islami).

Apapun istilahnya, baik PAKEM, PAIKEM, maupun PAIKEMIS bertujuan untuk memotivasi para guru agar dapat berinovasi dan kreatif menciptakan strategi dan model pembelajaran aktif yang menyenangkan, sehingga pembelajaran menjadi efektif. Pembelajaran yang menyenangkan akan membuat siswa menikmati pembelajaran. Hal ini sejalan dengan teori belajar yang menyatakan semakin berkesan suatu pembelajaran akan semakin lama tersimpan dalam memori jangka panjang siswa. Transfer of knowledge dari guru ke siswa dilakukan tanpa tekanan dan mengalir secara alamiah.

Suasana belajar mengajar yang menyenangkan dapat memusatkan perhatian siswa secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar, seperti disimpulkan oleh Dimas (dalam Qomaruddin, 2005) bahwa memetik senar kegembiraan pada anak akan memunculkan keriangan dan vitalitas dalam jiwanya. Hal itu juga akan menjadikan si anak selalu siap untuk menerima perintah, peringatan, atau bimbingan apapun. Menabur kegembiraan dan keceriaan pada anak akan membuatnya mampu mengaktualisasikan kemampuannya dalam bentuk yang sempurna.

Untuk itu, pembelajaran bernuansa PAKEM diarahkan pada pembelajaran yang berpola permainan (game) yang kemudian dikenal dengan model-model pembelajaran. Para ahli pembelajaran telah merancang sejumlah model pembelajaran sepeti model Jigsaw, Problem Based Instruction (PBI), Think, Pair, and Share (TPS), dan sebagainya.    

Jelaslah bahwa PAKEM berfungsi meningkatkan kinerja guru dalam mentransformasi pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa. Hal ini terkait dengan fungsi guru sebagai pengajar. Sementara itu, yang banyak dibahas oleh JU tentang PAKEM terkait fungsi guru sebagai pendidik yang kerap melakukan kekerasan yang sebenarnya lebih relevan dikaitkan dengan moralitas guru, bukan dengan PAKEM.

Karena PAKEM bukanlah sebuah pendekatan yang memliki akar teori, sebenarnya tidak ada pelatihan khusus tentang PAKEM. Konsep PAKEM diintegrasikan dalam berbagai label pelatihan misalnya pelatihan atau workshop Model-Model Pembelajaran, Pembelajaran Aktif, dan Penelitian Tidakan Kelas (Classroom Action Reserach). Dalam berbagai jenis pelatihan inilah, PAKEM dimasukkan sebagai submateri. Jika JU menyatakan banyak guru di Aceh yang belum pernah mengikuti pelatihan PAKEM tidaklah mengherankan karena memang jarang ada pelatihan berlabel PAKEM.  

Terlepas adanya perbedaan pemahaman konsep tentang PAKEM, saya sepakat dengan JU bahwa kualitas guru perlu terus ditingkatkan. Menurut Prof. Leblanc (2009) mengajar yang baik adalah memiliki kesenangan, dan kenikmatan batin, yaitu ketika mata kita menyaksikan bagaimana anak didik menyerap ilmu yang kita berikan, bagaimana pemikirannya terbentuk, sehingga mereka kemudian menjadi orang yang lebih baik. Seorang guru yang baik akan melakukan tugasnya bukan semata karena uang atau karena sudah merupakan kewajibannya, tetapi karena ia menikmati pekerjaannya dan karena ia menginginkan pekerjaannya itu. Seorang guru yang baik tidak dapat membayangkan ia akan dapat melakukan hal atau pekerjaan lain selain mengajar dan mengajar.

Menjadi guru yang baik bukan hanya dibuktikan dengan memiliki program kerja (Silabus, RPP) yang tersusun rapi dan secara ketat mengikuti agenda tersebut (rigid). Sebaliknya, guru haruslah bersikap fleksibel, selalu bersedia untuk mencoba hal-hal baru (experimenting), dan memiliki kepercayaan diri untuk merespons dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah. Guru yang baik merupakan suatu keseimbangan antara menjadi diktator yang otoriter dan menjadi seorang penurut (pushover).

* Drs. Denni Iskandar, M.Pd. adalah dosen FKIP Unsyiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar