Rabu, 23 Maret 2011

Aceh dan Libya

Wed, Mar 23rd 2011, 08:11

Aceh dan Krisis Libya

KRISIS politik di Libya semakin mengkhawatirkan, bukan saja karena pecahnya perang saudara, namun campur tangan asing (baca: Sekutu) telah memperparah situasi politik di negeri Afrika Utara itu.

Harus diakui bahwa campur tangan Amerika Serikat dan sekutunya dalam konflik Libya, telah memperpanjang zona perang Amerika di Timur Tengah, setelah sebelumnya Afganistan dan Irak, kini Libya. Pola pendekatan militeristik (hard power) dalam penyelesaian suatu konflik, atau lebih tepat dikatakan menjatuhkan kekuasaan Negara lain, telah menjadi ciri khas kebijakan luar negeri dan keamanan negeri Paman Sam tersebut.

Agresi militer Amerika dan sekutunya ke Libya juga menunjukkan bahwa siapa pun Presiden Amerika dan dari apapun partai yang berkuasa, baik Partai Demokrat maupun Republik, tidak ada yang berbeda. Artinya George W.Bush dengan Barrack Obama sama saja. Hal ini membuktikan bahwa pidato Obama dalam kuliah umum di Al-Azhar University beberapa tahun lalu, yang ingin merangkul dunia Islam, dan membangun perdamaian dunia hanyalah retorika politik “palsu” saja.

Apa sebenarnya yang membuat Amerika Serikat dan sekutunya begitu bernafsu menyerang Negara-negara Islam di Timur Tengah dan Africa Utara? Setidaknya ada dua faktor, yaitu faktor politik dan ekonomi. Secara politik, dominasi Israel dibalik upaya menjatuhkan khadafi menjadi faktor yang sangat dominan. Khadafi saat ini dikenal sebagai salah satu Negara Arab-Afrika Utara yang menentang zionisme, dan menjadi negera yang membantu perjuangan rakyat Palestina di Gaza. Sementara dalam konteks ekonomi,  ketidakstabilan politik di Libya, akan sangat mempengaruhi pada ketidakstabilan harga minyak dunia. Jika ini tidak dapat dikendalikan maka Amerika sebagai konsumen terbesar minyak dunia akan sangat dirugikan dengan kondisi demikian.

Namun apakah hanya karena keinginan mengontrol ekonomi dunia, lantas mengorbankan nilai-nilai kemanusian? Bukankah invansi di Irak telah menewaskan lebih dari 2 juta rakyat tak berdosa, menyebabkan jutaan lainnya menjadi pengungsi, kehancuran perekonomian secara massif, dan sampai saat konflik belum juga berakhir.

Biasanya, setiap kebijakan politik keamanan dengan pendekatan militeristik, tidak pernah mempertimbangkan faktor kemanusiaan. Karena pembicaraan dan pertimbangan mengenai nilai kemanusiaan hanya menjadi isu di atas meja.

Situasi ini semakin sulit, karena Khadafi juga telah mempersenjatai seluruh rakyatnya. Hal ini menjadi alasan bahwa militer agresor untuk menembak siapa saja, karena dianggap sebagai sipil bersenjata, yang dapat menjadi “ancaman” bagi tentara aliansi Amerika.

Lantas, tidak adakah cara lain dalam penyelesaian krisis Libya? Apakah penyelesaian suatu konflik harus selalu dengan pendekatan kekerasan dan peperangan? Dalam konsep Negara Amerikan dan aliansinya (NATO), sepertinya peperangan telah menjadi trademark kebijakan politik dan keamanannya.

Bagaimana dengan Aceh? dapatkan Aceh menjadi “The Hero” dalam krisis Libya? Pertanyaan ini terasa aneh dan bahkan kadang hanya menjadi ilusi, jika tidak dikatakan halusinasi  atau hayalan tinkat tinggi.

Namun harus diakui, bahwa krisis yang terjadi di Aceh pada beberapa dekade yang lalu, tidak terlepas dari peran Libya. Libya telah menjadi Negara yang melatih para pemberontak (baca:ASNLF) mengenai sistem dan cara berperang dalam melawan rezim dan kekuasaan Negara asal pemberontakan tersebut.

Meskipun dalam konteks Aceh, cara yang diajarkan oleh Libya tersebut, tidak juga menyelesaikan masalah. Artinya proses berakhirnya perang di Aceh tidak dengan mengedepankan militeristik, namun dengan pendekatan diplomasi dan mediasi.

Dalam hal ini, Aceh mestinya harus berperan aktif dalam perpolitikan global dan proses perdamaian dunia. Aceh harus menjadi icon bentuk perdamaian dunia yang bermartabat. Apalagi relasi emosional Aceh-Libya dalam ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front), dapat menjadi modal dalam memediasi antara pemerintah Tripoli dengan para pemberontak di Timur Libya.

Aceh semestinya harus mengajarkan negara-negara adikuasa, bahwa pendekatan militeristik dan kekerasan bukanlah solusi dalam penyelesaian suatu persoalan, apalagi dengan men-invansi kedaulatan negara lain. Karena ini sangat menyalahi konvensi International tentang hak-hak negara yang berdaulat.

Akhirnya, penulis melihat, bahwa terlepas dari persoalan internal negara-negara Islam, khususnya Aceh dan Indonesia harus berperan aktif dalam proses penyelesaian konflik di Libya. Amerika Serikat, Israel, dan para sekutunya tidak berhak mencaplok negari umat Islam, apapun alasannya. Solidaritas terhadap krisis Libya harus selalu dilandasi pada perjuangan rakyat dan kebenaran. Rakyat Libya akan menghadapi suatu krisis kemanusian yang sangat berat, karena ketika invansi ini terus berlanjut, maka kehancuran nilai-nilai kemanusian akan menjadi cerita berkesinambungan setelah Irak dan Afganistan. Sebagai saudara se-iman, strategi imajinatif dalam penyelesaian konflik dan menentang pendudukan Amerika Serikat dan Sekutunya di Libya menjadi titik awal dari solidaritas internasional negara-negara muslim dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar