Seringkali
kita menunjuk sesuatu dengan berbagai sebab dan
alasan. Di sana ada
beberapa hal menarik yg bisa diambil pelajaran. Menunjuk sesuatu bisa
berarti memilih, menginformasikan sesuatu, mengarahkan bahkan
menyalahkan. Kali ini yg menjadi perhatian kami adalah tentang jari
telunjuk yg menunjuk pada sebuah kesalahan/menyalahkan apa yg ada di
sekitar kita. Mari kita perhatikan posisi tangan kita ketika menunjuk
sesuatu, yach … di sana kita dapatkan satu jari (jari telunjuk) mengarah
kepada objek tertentu dan ketiga jari lainnya (kelingking, manis dan
tengah) cenderung mengarah kepada diri kita sendiri (berlawanan arah),
sedangkan jempol dalam posisi “netral”, tidak menunjuk diri kita ataupun
apa yg ditunjuk oleh jari telunjuk kita.
Apa maknanya?
Menyambung penjelasan yg disampaikan oleh Kyai kami (KH. Imadudin
Sukamto-Pengasuh PP.Pandanaran Komplek IV), posisi jari2 tangan kita
tersebut seakan mengingatkan kita, bahwa sebesar apapun kesalahan orang
lain (yg kita tunjuk/tahu), pun kita juga musthi evaluasi diri .., dgn
simbol tiga jari lainnya yg justru mengarah pada diri kita. Mungkin
teman kita hari ini melakukan kesalahan, namun boleh jadi … beberapa
saat kemudian, besok ataupun suatu saat nanti, justru kitalah yg
melakukan kesalahan. Di sisi lain, jempol sebagai simbol kebaikan dan
kesempurnaan, posisinya pun tidak menunjuk pada objek maupun subjek
kesalahan-tidak memuji salah satu di antaranya, Di sinilah kita
diingatkan oleh Ke-Maha Agungan Alloh SWT. yg mendesain jari2 kita
sedemikian sempurnanya, agar kita senantiasa mengambil pelajaran dari
setiap kesalahan, dan senantiasa berhati-hati dalam setiap tindakan,
tidak cepat puas atas kebaikan yg dilakukan dan senantiasa berusaha tuk
terus melakukan perbaikan.
Smoga Alloh senantiasa menolong kita untuk istiqomah dalam kebaikan dan kebenaran. Smoga bermanfaat. Wallohu a’lamu bisshowab.
Yogyakarta, 27 September 2010
Caksyam.
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Penghulu Istighfar
ialah kamu berkata: “Allahumma anta rabbi laa ilaha illa anta
kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu
a’udzubika min syarri ma shona’tu abu-u laka bini’matika ‘alaiyya wa
abu-u bidzanbi faghfirli fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta (Ya
Allah, Engkau adalah Rabbku. Tiada ilaha selain Engkau. Engkau telah
menciptakan aku, dan aku adalah hambaMu dan aku selalu berusaha menepati
ikrar dan janjiku kepadaMu dengan segenap kekuatan yang aku miliki. Aku
berlindung kepadaMu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui betapa
besar nikmat-nikmatMu yang tercurah kepadaku; dan aku tahu dan sadar
betapa banyak dosa yang telah aku lakukan. Karenanya, ampunilah aku.
Tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).” Barangsiapa yang
membaca doa ini di sore hari dan dia betul-betul meyakini ucapannya,
lalu dia meninggal dunia pada malam harinya, maka dia termasuk penghuni
surga. Barangsiapa yang membaca doa ini di pagi hari dan dia betul-betul
meyakini ucapannya, lalu dia meninggal dunia pada siang harinya, maka
dia termasuk penghuni surga.” (HR Bukhary 5831)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar