Sabtu, 04 Juni 2011

Kristalisasi Pola Pikir Syariat

MENGAPA pelaksanaan syariat Islam terkesan mandeg? Hipotesis yang dapat penulis ajukan adalah karena pola pikir syariat belum terbentuk dalam jiwa masyarakat Aceh; sebab syariat bukan hanya persoalan formalisasi, tetapi kristalisasi.

Pola pikir adalah nilai-nilai dominan yang ada di alam bawah sadar seseorang (masyarakat) yang mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan kita. Pola pikir terbangun seiring dengan perkembangan usia seseorang. Ia terbentuk dari jumlah dan jenis informasi yang masuk dan tersimpan dalam memori bawah sadar kita. Bentuknya berupa doktrin tentang apa saja yang diyakini sebagai suatu kebenaran.

Proses terbentuknya memerlukan waktu yang panjang, sebab tempat bersemayamnya adalah jiwa (alam bawah sadar) kita itu sendiri. Generasi Aceh yang berperan di masyarakat maupun di pemerintahan, adalah generasi yang lahir dan dibesarkan di era Orde Baru. Mereka adalah generasi yang lahir di tahun 60-an, 70-an, dan 80-an; baik sebagai masyarakat biasa, pegawai biasa, pejabat rendahan, maupun pejabat tinggi. Alam bawah sadar mereka setidaknya telah terisi oleh nilai-nilai yang tumbuh subur di masa Orde Baru; baik nilai yang positif maupun nilai-nilai negatif.

Dalam hal pola pikir, di era Orde Baru Aceh sama saja dengan daerah-daerah yang lain. Barometer nilai di Indonesia saat itu tetaplah Jakarta dan beberapa kota besar berpengaruh seperti Medan, Surabaya, Bandung, Makassar, dan lain-lain. Kota-kota inilah yang menyuplai nilai-nilai ke daerah lain sehingga gaya bicara, gaya pakaian, gaya kerja, gaya hidup orang di daerah tanpa sadar sama dengan yang ada di Jakarta. Sayangnya Jakarta bukanlah sumber pembentuk pola pikir yang baik.

Sentralisasi pemerintahan di masa Orde Lama dan Orde Baru bahkan sampai saat ini menyebabkan sentralisasi budaya, sehingga nilai-nilai dominan Jakarta memengaruhi pola pikir masyarakat di daerah. Bagaimana tidak, pusat pengambilan keputusan dalam berbagai hal letaknya di Jakarta. Sadar atau tidak, sebuah bentuk pengambilan keputusan adalah pembentukan suatu pola pikir. Belum lagi bahaya dari satu masalah yang tidak jelas pengambilan keputusannya, sehingga terbentuk pola pikir mandeg, stagnan, di daerah. Pengambilan keputusan bisa berbentuk kebijakan, perundangan, bahkan suatu pembiaran.

Pelan tapi pasti sentralisasi budaya di masa Orde Baru mengikis identitas kedaerahan. Pancasila yang sebetulnya hendak melestarikan kebhinnekaan tetapi dibajak oleh kepentingan politik. Dalam hal identitas kebangsaan, kita kalah telak dari Malaysia. Identitas Melayu Malaysia jelas berbeda secara hitam-putih dengan Tionghoa yang Konfusianis dan India yang berbudaya Hinduis; masing-masing berusaha mempertahankan identitasnya. Di Indonesia semuanya jadi abu-abu, semua latar etnik dan budaya harus berganti baju dengan identitas Indonesia yang tidak jelas wujudnyanya. Akhirnya yang tercipta adalah budaya Indonesia yang semu (pseudo). 

Dalam kondisi budaya yang tersentralisasi tersebut, terjadi perubahan paradigma politik di Aceh. Walaupun masyarakatnya telah berpola pikir “Jakarta” namun di alam bawah sadarnya masih tertanam romantisme syariat Islam. Momentum sejarah memberi kesempatan untuk memberlakukan syariat Islam. Namun karena generasi yang memimpin birokrasi serta masyarakat Aceh telanjur dibesarkan dalam pola pikir Orde Baru, maka pola pikir syariat tidak mudah untuk diubah. Akhirnya syariat Islam hanya formalitas belaka. Institusi syariat yang dibentuk seperti Wilayatul Hisbah yang mati-matian mengadvokasi syariat, “mengembala” masyarakat untuk berperilaku syar’i dibuat patah arang. “Arang habis besi binasa” karena pola pikir masyarakat telah terlanjur di-install dengan program-program non-syariat.

Lembaga apapun yang dibentuk seperti Wilayatul Hisbah, Majelis Ulama, Mahkamah Syar’iyah, Baitul Mal, Dinas Syariat Islam akhirnya terjebak dengan pola pikir lama, karena sistem adalah wujud dari pola pikir itu sendiri. Akhirnya sampai saat ini lembaga-lembaga itu tidak pernah menjadi agent of change, bukan mewarnai tetapi diwarnai. Eksistensi lembaga-lembaga itu masih marginal dalam pergaulan kelembagaan di Aceh. Pola pikir lama yang terwakili dalam sistem pemerintahan dan sistem kemasyarakatan menenggelamkan sistem-sistem yang berbau keislaman.

Semua kemandegan dalam pelaksanaan syariat Islam tak lain karena sulitnya mengubah pola pikir yang sudah telanjur didominasi nilai-nilai yang non-syariat. Perubahan paradigma dari non-syariat Islam ke pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah paradigma yang sangat radikal. “Perintah” untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh persis perintah yang diterima oleh seorang sopir bus yang sedang melaju kencang dengan kecepatan 80/jam untuk berbalik 180 derajat. Dalam kondisi tersebut tentu saja tidak mungkin, sopir semahir apapun tidak akan mampu melaksanakan perintah itu. Cara yang aman tentu saja dengan mengerem laju bus, mencari tempat yang cukup luas untuk berputar, dan semua itu butuh waktu dan kesabaran. Kondisinya saat adalah banyaknya “penumpang” yang tidak sabar dengan pendekatan step by step (tadarruj) yang ditempuh sang sopir, semuanya menginginkan pendekatan yang radikal, segera saja berputar meski dengan risiko bus terbalik.

Butuh Generasi Baru
Kristalisasi pola pikir syariat membutuhkan generasi baru, bukan generasi kita sekarang yang angkatan tahun 1970-an, yang pola pikir kita setengah atau dua pertiganya telah terkontaminasi oleh pola pikir lama. Untuk memecah pola pikir lama yang membatu itu butuh kristalisasi pola pikir syariat untuk menghantam pola pikir lama (non-syariat) tersebut. Untuk mengkristalisasi pola pikir syariat dalam diri kita juga merupakan tantangan sendiri mengingat kita hidup dalam lingkungan yang manusia-manusianya dibesarkan dengan pola pikir lama yang sama-sama telah membatu. Sulit, sekali lagi sulit untuk generasi kita-kita.

Sulit untuk kita, mungkin tidak untuk generasi anak-anak kita, generasi yang lahir di awal abad 21 dan millenium baru. Tetapi skeptisme kembali muncul melihat Jakarta tetap mendominasi nilai-nilai. Meski sudah ada otonomi tetap saja semua pengambilan keputusan yang sangat mempengaruhi nilai ada di Jakarta. Setelah satu dekade pelaksanaan syariat Islam, Aceh belum sanggup menjadi barometer nilai bagi masyarakatnya sendiri. Jika barometer nilai masih Jakarta, membentuk generasi syariat dihadapkan pada tantangan yang berlapis. Fenomena “anak Punk”, selebriti, tawuran, selingkuh, jalan-jalan sore, malam mingguan, pacaran, adalah sejumlah fenomena yang lahir dari nilai-nilai impor dari Jakarta.

Untuk mengkristlakan pola pikir syariat, jalan yang paling efektif adalah melalui pendidikan dan penegakan hukum. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang holistik dalam arti luas, dari kandungan sampai ke liang lahad. Sedangkan melalui jalur hukum adalah jaminan terjaganya nilai-nilai positif “yang beredar” di masyarakat.

* Penulis adalah Widyaiswara BKPP Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar