Senin, 05 Desember 2011

Apa Kabar Syariat Islam?

MEMASUKI tahun baru Hijriah, mengingatkan kita pada pencanangan Syariat Islam di Provinsi Aceh. Pemberlakuan syariat Islam secara resmi berlangsung secara bersamaan dengan peringatan 1 Muharram 1421 Hijriah. Artinya tahun ini, syariat Islam di Aceh genap berusia 12 tahun.

Pada momentum tahun baru Islam kali ini, patut kita mengevaluasi perjalanan syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah. Karena penerapan syariat Islam mulai tertatih-tatih, bahkan di beberapa tempat nyaris tak terdengar. Akibatnya, pelanggaran syariat makin sering terjadi sebagai konsekuensi penerapan yang tidak simultan dan berkelanjutan.

Aura syariat Islam kini tertinggal dalam kantor agama, baliho, spanduk dan di beberapa tempat ibadah. Selebihnya terdengar jika ada razia pakaian ketat dan ceramah agama yang tidak semua orang  mendapatkannya. Bahkan, di tempat-tempat tersebut sosialisasi syariat Islam kurang efektif, karena mereka memang berada dalam lingkaran religius, sementara pelanggaran syariat umumnya terjadi di luar komunitas ini.

Penerapan syariat Islam di beberapa tempat nyaris tak mendapat  dukungan. Penolakan secara tidak langsung terjadi di kalangan stakeholder dan masyarakat. Buktinya, operasional syariat Islam hanya berlangsung ketika dana itu turun. Jika tidak, para petugas tidak berbuat apa-apa. Wajar, jika ada anggapan bahwa syariat Islam di Aceh hidup segan mati tak mau.

Semangat
Semangat penerapan syariat Islam awalnya untuk meredam konflik vertikal antara pemerintah Indonesia dengan GAM yang saat itu termasuk rakyat Aceh. Maka, lahirlah syariat Islam sebagai sebuah jawaban pemerintah Indonesia untuk Aceh. Konflik yang berkepanjangan pasca pencabutan status DOM Agustus 1998 waktu itu sangat berbahaya hingga muncul wacana pemberlakuan syariat Islam di masa pemerintahan Gubernur Abdullah Puteh.

Pada masa awal perberlakuan syariat Islam, berbagai perangkat disiapkan. Lahirlah Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah dan Pengadilan Agama berubah wujud menjadi Mahkamah Syar’iyah. Euforia syariat Islam pada saat itu nyaris menjadi solusi berbagai persoalan Aceh. Demikian juga, ekspektasi masyarakat terhadap kesempurnaan syariat Islam muncul di mana-mana. Ketika itu, Aceh nyaris sempurna dengan identitas keislaman.

Karena terlalu semangat, nama perkantoran pemerintah dan swasta serta berbagai lembaga bertuliskan huruf Arab. Syariat Islam dipahami sebagai bahasa Arab. Sehingga nama-nama resmi pun harus menggunakan dua bahasa, Melayu dan Arab. Islamisasi dipahami sebagai arabisasi.

Identitas daerah berlandaskan syariat Islam, nama perda pun diubah menjadi qanun. Demikian juga dengan nama qanun seperti minuman keras menjadi khamar, berjudi menjadi maisir, dan mesum menjadi khalwat atau sesuai dengan bahasa Arab. Masyarakat Aceh dan pendatang berpikir bahwa syariat Islam harus dijabarkan juga dengen tulisan atau istilah dalam bahasa Arab. Sedikit unik, juga aneh pemahaman syariat Islam di negeri ini.

Wilayatul Hisbah atau Polisi Syariah menjadi sosok yang menakutkan. Dalam sekejap, kaum wanita mendadak “alim” dengan pakaian tertutup. Kaum pria pun jadi aneh memakai celanan pendek. Para polisi wanita dan anggota Kowad juga mendadak berbusana baru karena pemberlakuan syariat Islam. Sungguh suatu hal yang baru dan membanggakan ketika itu.

Tumpul
Dalam perjalanannya, syariat Islam mulai tumpul. Penerapan sering tidak adil terhadap pelakunya. Terlalu gampang menghukum mereka yang tidak memiliki pengaruh, sementara yang memilik kedudukan bisa melenggang ke luar Aceh. Sanksi moral di daerah pun tidak seragam. Ada daerah yang terlalu keras mengganjar sanksi, sebaliknya banyak daerah yang masih bimbang.

Kesan penerapan sanksi tumpul juga bisa dilihat dari peluang denda. Bagi yang memiliki uang bisa membayar sejumlah denda, sementara yang papa, hanya bisa pasrah menanti putusan mahkamah syar’iyah untuk mendapatkan uqubat cambuk.

Proses dan sanksi yang masih belum adil menyebabkan penerapan syariat Islam menjadi timpang. Namun, para pengambil kebijakan berdalih melaksanakan hal-hal yang kecil seperti kasus penyakit masyarakat atau dikenal dengan pekat.

Syariat Islam ternyata belum menjamin rakyat Aceh lulus dari berbagai penyimpangan. Pelanggaran dei pelanggaran selalu terjadi dengan berbagai bentuk. Kasus amoral dan korupsi masih saja menghiasi halaman media di Aceh. Demikian juga dekadensi moral di kalangan elite dan para generasi muda jadi sajian utama media massa saat ini.

Kewajiban lulus baca Alquran yang diterapkan di berbagai sektor juga tak membuat prestasi keagamaan Aceh beranjak bagus. Para calon anggota legislatif dan calon kepala daerah pun yang juga wajib lulus baca ayat Alquran tak mampu mengubah perilaku mereka.  Padahal, Alquran menuntun umatnya lebih dekat dengan Allah SWT dan jauh dari tindakan menyimpang. Demikian juga dari arena MTQ yang menjadi ikon syariat Islam, Aceh masih tertinggal jauh, bahkan sempat anjlok hingga di bawah Papua yang notabene-nya mayoritas nonmuslim.

Uswatun Hasanah
Penegakan syariat Islam baru bisa tegak jika adanya keteladanan. Para pengelola negeri ini rela berkorban untuk perbaikan umat. Uswatun Hasanah seperti yang diperlihatkan Nabi Muhammad SAW jadi kunci kesuksesan syariat Islam di Aceh. Jika pengelola negeri ini masih terus berteriak untuk rakyat bukan introspeksi diri, jangan harap syariat Islam tegak di Aceh secara kafah.

Oleh karenanya, syariat Islam tidak hanya slogan dan muncul pada peringatan Hari Besar Islam seperti 1 Muharram, tapi lebih pada implimentasi dalam diri dan keluarga. Sehingga, orang luar tidak menertawakan pelaksanaan Syariat Islam yang hanya besar gaung, tapi melempem  ketika dilihat langsung. Sehingga muncul pertanyaaan: “Apakabar Syariat Islam?”
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2011/11/28/apa-kabar-syariat-islam
Oleh Mukhtaruddin Yakob
* Penulis adalah pekerja pers berdomisili di Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar